Dalam suatu kesempatan pulang kampung di daerah Klaten, Jawa Tengah, saya menyempatkan diri mengunjungi teman lama saya. Kami janjian bertemu di pojokan pasar Beringharjo Jogja, tempat mbah Pon menggelar dagangannya. Gudeg krecek, kepala ayam kampung dan tahu bacem, menjadi menu favorit saya.
“ Piye nang kabare?” sapa Mbah Pon, menyapa saya.
Meski sudah berpuluh tahun tidak nyambangi warung gudheg tempat saya dan teman-teman sering ngutang dulu, namun daya ingat Mbah Pon masih luar biasa. Mbah Pon selalu memanggil saya dengan sebutan Nang, yang artinya anak lanang, panggilan akrab orang-orang jawa kepada anak laki-laki.
“ Taksih kemutan kulo Mbah ( masih ingat saya mbah) ?” Tanya saya pada sosok wanita hebat yang usianya sudah beranjak senja itu.
“ Yo isih no, la wong kowe senengane mangan gudheg lawuh ndas pitik. Malah kerep utang yen ra duwe duwit. ( ya masih ingat to, la kamu sukanya makan gudheg lauknya kepala ayam, bahkan sering ngutang kalau tidak punya uang,” kata Mbah Pon sambil senyum-senyum ngerjain saya.
Mbah Pon sudah seperti orang tua saya sendiri. Dari Mbah Pon saya belajar banyak tentang hidup, tentang perjuangan, tentang kemanusiaan, juga tentang bagaimana membangun interaksi antara manusia dengan Gusti Allah Sang Pemilik Kehidupan.
Sambil menunggu Mbah Pon meracik teh cencem gula batu kesukaan saya, angan saya tiba-tiba terbang ke masa lalu. Suatu masa, dimana saya mengalami kepahitan-kepahitan dalam hidup. Saya harus berjuang untuk bisa menyelesaikan kuliah, berjuang bertahan hidup karena ketidak beradaan.
“ Nang, wong urip ki sawang sinawang. Ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan, ojo aleman ( orang hidup itu jangan mudah heran, mudah menyesal, mudah terkejut dan manja,” kata Mbah Pon berpuluh tahun silam.
Nasehat luhur bilamana kita resapi dan kita lakukan, akan mengantarkan kita pada pencapaian kualitas hidup. Nasehat itu mengajarkan kita untuk menjadi orang yang dapat menerima semua keadaan, sehingga kita tidak akan membuat masalah buat diri kita dan orang lain.
Nasehat Mbah Pon, begitu kuat menari-nari dalam benak saya. Tak terasa, air mata saya pun tumpah.
“ Mikirke opo maneh. Ki pesenane, didahar disik ( memikirkan apa lagi, ini pesanannya dimakan dulu,” kata Mbah Pon, menyadarkan lamunan saya.
“ Inggih Mbah, siapp,” ucap saya singkat.
Mbah Pon memang perempuan hebat, dari jualan gudeg di pojok pasar, mampu membiayai anak-anaknya kuliah di sejumlah perguruan tinggi bergengsi.
Mbah Pon memiliki lima orang anak. Dua orang anak kuliah di UGM, 2 orang di ITB dan 1 orang di UI. Mereka kuliah tanpa beasiswa.
Sambil menikmati gudeg krecek, saya melirik Mbah Pon yang begitu cekatan melayani pembeli. Tak seperti biasanya, siang itu mbah Pon kedatangan pembeli yang sebagian besar peserta seminar, dan terlihat antusias ingin belajar kesuksesan dari mbah Pon.
Banyak pertanyaan dilemparkan, tapi jawaban mbah Pon begitu sederhana, dan beberapa peserta terlihat tidak puas dengan jawaban mbah Pon.
“ Mbah, bagaimana sih cara simbah mendidik anak ?” tanya salah seorang diantara mereka.
“ Nggih biasa mawon, yen nakal nggih dikandani ( ya biasa saja, kalau nakal ya dinasehati),” jawab Mbah Pon sekenanya.
“ Lalu bagaimana ceritanya, hanya dengan jualan gudeg simbah bisa membiayai lima anaknya di universitas terkenal?” tanya peserta yang lain.
Lagi-lagi mbah Pon menjawab sekenanya, tidak njlimet.
“ Pas kedah bayar sekolah nggih dibayar ( pas tiba waktu bayar sekolah ya dibayar ),” jawab mbah Pon, sambil melayani pesanan pembeli.
Para peserta seminar yang ingin tahu rahasia kesuksesan mbah Pon tidak tahu lagi harus bertanya apa. Tidak ada jawaban special dan teoritis dari sosok perempuan lugu itu. Hingga salah seorang peserta bertanya.
” Mbah Pon, menopo njenengan mboten nate wonten masalah ( Mbah Pon apakah, simbah tidak pernah punya masalah?”
Dengan guratan wajah sedikit bingung, Mbah Pon kembali menjawab sekenanya, sambil tersenyum ramah khas orang Jawa. Mbah Pon balik bertanya.
“ Masalah itu apa to ? Masalah itu yang seperti apa?” tanya Mbah Pon
“ Niku lho mbah, misale pas badhe mbayar sekolah pas mboten wonten arto ( itu loh mbah, misalnya pas waktunya bayar sekolah, tidak ada uangnya),” ucap salah satu diantaranya mencoba memberi penjelasan mbah Pon.
Dengan tersenyum mbah Pon menjawab, “Oh niku toh, nggih gampil mawon, dereng wonten artone nggih kula nyuwun Gusti Allah, lha ndilalah mbenjange gudege wonten ingkang mborong (Oh itu toh, ya gampang saja, kalo pas tidak ada uang, saya minta ke Gusti Allah, la ternyata besoknya ada yang mborong gudeg saya),”
Jawaban mbah Pon menampar para peserta seminar yang notabene adalah orang-orang pintar dan terpelajar. Orang-orang yang paham tentang ilmu energi dan bagaimana hukum energi bekerja, energi selalu menarik energi yang bersifat sama.
Mbah Pon tidak tahu apa itu masalah, sehingga tidak pernah menganggap hidupnya ada masalah.
Bagaimana mungkin masalah datang dalam kehidupannya, bila hanya Allah yang menjadi tempat sandaran.
Benar adanya, hanya Allah sebaik-baik tempat bersandar, dan sebaik-baik minta pertolongan.
Semoga menginspirasi
( Jgd )